Oleh: A.Rusdiana
(Guru Besar Manajemen Pendidikan UIN SGD Bandung)
Kehati-hatian agar tidak terpengaruh pemberitaan atau informasi yang tidak benar dan menyeret kita kepada lembah dosa. Allah SWT berfirman dalam QS Al-Hujurat ayat 6 memerintahkan kita untuk melakukan tabayun (klarifikasi) terhadap segala informasi yang kita terima dan tidak mudah terpengaruh yang mengakibatkan musibah bagi diri kita dan orang lain. Allah Swt.berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat [49: 6).
Ada kalimat bijak yang mengatakan bahwa: Dulu, orang yang berpengetahuan adalah orang yang memiliki banyak informasi. Tapi sekarang, orang yang berpengetahuan adalah orang yang mampu menemukan banyak informasi.
Jika kita renungkan, kalimat ini sangat relevan sekali dengan kondisi di zaman teknologi dan informasi saat ini di mana arus informasi mengalir sangat deras silih berganti. Kita dengan sangat mudah menemukan jutaan informasi hanya dengan menggunakan peralatan di tangan kita, yang sudah menjadi bagian dari kehidupan orang modern yakni handphone atau smartphone. Ditambah lagi dengan kehadiran media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, Whatsapp dan sejenisnya, dunia seolah-akan sudah berada dalam genggaman kita.
Apa yang sedang terjadi di berbagai belahan dunia dan isu apa yang sedang hangat dibicarakan, dengan mudah kita ketahui. Namun kondisi ini ternyata memunculkan permasalahan lain yang cukup memprihatinkan. Karenanya arus informasi yang tidak dibarengi dengan kesadaran untuk menyaring dan memilih informasi dengan baik, ternyata mewabah di masyarakat. Ditambah lagi budaya tabayun sudah mulai hilang dan membuat masyarakat mudah terpapar berita bohong atau hoaks. Berita bohong saat ini juga tidak hanya menyasar kepada masyarakat berpendidikan menengah ke bawah.
Masyarakat dengan pendidikan tinggi, termasuk para tokoh dan figur publik juga ikut dalam pusaran arus berita bohong yang diproduksi oleh pihak-pihak tertentu serta untuk kepentingan tertentu. Kurangnya kehati-hatian mengakibatkan berita bohong dengan cepat tersebar dan mengakibatkan rusaknya tatanan dalam masyarakat.
Perlu kita sadari, saat ini siapa saja bisa membuat dan menyebarkan berita melalui media sosial. Padahal saat ini media sosial sudah menjadi pilihan utama masyarakat dalam berkomunikasi dan mencari informasi. Dalam kurun waktu setahun belakangan ini pula, Indonesia menghadapi menjamurnya berita hoaks di media sosial. Apalagi menghadapi pemilihan umum yang akan berlangsung pada 17 April mendatang.
Kegaduhan di media sosial terkait Pemilu dan Pilpres yang kita lihat saat ini bukan karena kebetulan saja. Ini merupakan upaya sistematis yang dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab atas kepentingan pribadi atau kelompok. Oleh karena itu, kita harus ekstra hati-hati, tidak gegabah, tidak kagetan dan tidak tergesa-gesa dalam menerima dan menanggapi sebuah berita.
Pertama: Kita harus objektif dan menggunakan hati nurani kita dalam memahami berita. Jangan sampai informasi salah yang datang dari orang yang kita senangi selalu kita benarkan. Sedangkan informasi benar dari orang yang kita tidak senangi selalu kita salahkan. Sudah saatnya kita kembali berpatokan pada QS Al-Hujurat ayat 6 ini yang menunjukan dengan jelas tentang haramnya mengambil berita dari orang fasik tanpa melakukan tomboy (tabayyun) kebenarannya karena akan membahayakan diri kita dan orang lain. Paling tidak ada tiga sikap yang perlu kita lakukan.
Kedua: Kita harus mengambil berita dari orang yang terpercaya di media sosial bukan dari orang yang fasiq yakni orang yang keluar dari ketentuan akal sehat, adab sopan santun dan agama serta orang yang belum kita kenali kredibilitasnya sebagai orang jujur. Apalagi terkait dengan persoalan agama.
Ketiga: Kita harus belajar dari ulama-ulama yang sudah jelas kealiman dan silsilah keilmuannya. Hindari belajar agama melalui media sosial dari orang yang tidak paham agama walaupun sering tampil di media sosial. Jangan sampai kita tersesat karena mengikuti video ceramah di youtube dari orang yang hanya pintar berbicara dan mengaku ustadz namun tidak memiliki kemampuan agama yang cukup dan ucapan serta tingkah lakunya pun tidak menunjukkan akhlakul karimah.
Bertindak secara bijak dengan tindakan yang baik menjadi suatu keniscayaan. Bagaimana Tidak?, Allah SWT, menjajikan “akan menjadi sebab diampuninya sebuah kesalahan dan dosa-dosa kita”. Sebagaiman firman-Nya dalam QS al-Ahdzab ayat 70-71:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah kata-kata yang benar, niscaya Allah memperbaiki amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa yang meminta Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar”. (QS al-Ahdzab [33]:70-71),
Ayat ini memberi pesan kepada kita bahwa segala kebenaran dalam sikap dan tutur kata akan lebih dekat kepada ketakwaan. Ketakwaan menjadi dasar kebenaran dalam berucap dan bertutur kata. Ucapan dan tutur kata yang benar akan menjadi salah satu sebab kebaikan tindakan. Dengan keyakinan bahwa tindakan yang baik akan menjadi sebab diampuninya sebuah kesalahan dan dosa-dosa kita.
Oleh karena itu marilah kita mulai bertindak secara bijak tindakan yang mengepankan etika yang baik dalam bermedia sosial dengan tidak memperkeruh suasana semisal melalui komentar-komentar yang kita tidak tahu duduk permasalahannya.
Kegaduhan yang ada di media sosial di akibatkan salah satunya adalah karena orang yang tidak tahu ikut berkomentar karena merasa tahu. Terlebih terkait masalah agama dan politik, banyak orang yang tiba-tiba anti kritik dan merasa pilihannya paling benar. Sehingga tak jarang masyarakat saling menghina, mengompol dan gonta-ganti di dunia maya untuk mempertaruhkan sementara dan mengorbankan ukhuwah yang harusnya dipertahankan sepanjang masa. Sulit untuk menghindari fenomena yang terjadi hari ini. wallahu a’lam. Semoga Allah SWT., mengapuninya.
Menyikapi kondisi memprihatinkan ini, sejak jauh-jauh hari Majelis Ulama Indonesia telah memberikan rambu-rambu agar umat Islam tidak terjerumus ke dalam arus berita bohong di media sosial. Hal ini termuat dalam Fatwa MUI Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui Media Sosial yang di dalamnya menegaskan fatwa tentang haramnya menyebarkan berita hoaks. Dalam fatwa ini dinyatakan bahwa memproduksi, menyebarkan dan atau membuat informasi tentang hoaks, ghibah, fitnah, namimah, aib, ujaran kebencian, dan hal-hal lain sejenis hukumnya haram.
Oleh karenanya, kita lebih berhati-hati dan bijak lagi dalam menerima dan menyikapi berita atau konten di media sosial. Hendaknya kita tidak langsung mempercayai dan membagi-bagikan berita yang belum jelas kebenarannya. “Saring sebelum berbagi”. “Posting hal-hal penting jangan yang penting posting”. Teliti dan pahami terlebih dahulu karena jika kita tidak berhati-hati bisa jadi kita akan menjadi orang yang berdosa dengan menjadi penyebar dosa. Cerdaslah dalam bermedia sosial dan semoga Allah Ta’ala senantiasa membimbing kita ke jalan yang diridhoi-Nya. Amin.***