Sang kolonel mengerti benar apa yang dirasakan anak buahnya. Wajar dan manusiawi bila anggotanya mulai uring-uringan.
“Sudah latihan berat, mau tampil kita susah dan menderita. Menawar-nawarkan diri ke berbagai pihak agar kita bisa tampil. Sekali ada job tampil di Jakarta, kita patungan pesan Bus Damri untuk berangkat. Tidur menggeletak di pelataran gedung. Sudah begitu pulang menahan kantuk berat, dengan membawa uang tak seberapa alias tekor. Sesampainya di Bandung paginya kami tugas jaga. Benar-benar berat perjuangan kami. Kalau orang sipil yakin tak kan kuat hidup abnormal seperti itu”, tandas perwira lulusan AKABRI 1987 ini.
Saat putus asa sudah mencapai ubun-ubun dan tim nyaris bubar, hidup tidak normal penuh kelelahan. Bekerja keras pagi sore hingga malam, walau dirinya juga merasakan frustasi yang sama dengan anggota, namun sebagai seorang pimpinan, Kolonel Eko terus memompa semangat anggotanya untuk tidak berhenti. Bahkan ia tak sayang mengeluarkan kocek dari sakunya sendiri dan juga anggota lainnya. Bahu-membahu, sedih senang ditanggung bersama.