Artificial Intelligence (AI) kini menjadi kata kunci dalam percakapan bisnis, pendidikan, hingga kehidupan sehari-hari. Laporan World Economic Forum (2024) menyebutkan bahwa sekitar 85 juta pekerjaan berpotensi hilang karena otomatisasi, namun pada saat yang sama, 97 juta jenis pekerjaan baru akan tercipta. Artinya, AI bukan hanya menghapus, tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru. Pekerjaan rutin yang repetitif bisa dialihkan ke mesin, sementara manusia difokuskan pada hal-hal yang lebih strategis yakni kreativitas, inovasi, dan pengambilan keputusan. Perusahaan-perusahaan besar sudah menganggap AI sebagai “mesin percepatan”. Namun, mesin tidak akan berarti apa-apa tanpa manusia yang bisa mengendalikannya.
Di sinilah SDM menjadi pusat dari semua investasi. Sosiolog menyebut fenomena ini sebagai “society 2.0”, masyarakat yang hidup berdampingan dengan mesin pintar. Psikolog menyebutnya penuh ambivalensi, ada rasa takut kehilangan pekerjaan, tetapi juga peluang pekerjaan baru yang lebih menantang. Dan secara filosofis, kita juga diingatkan untuk tidak menuhankan teknologi. AI hanyalah alat bantu, bukan pengganti martabat manusia. Maka, perusahaan yang cerdas akan berinvestasi ganda, teknologi sekaligus peningkatan kapasitas SDM. Investasi SDM dan AI yang akan melahirkan masa depan, dimana manusia dan mesin berkolaborasi, bukan bersaing, dan yang menentukan bukan seberapa pintar AI, tetapi seberapa bijak manusia memanfaatkannya. Di sinilah teori Human Capital 2.0 menemukan relevansinya, bahwa nilai SDM tidak lagi terletak pada keterampilan teknis semata, tetapi pada kemampuan adaptasi, empati, kreativitas, dan kolaborasi











