Teknologi informasi benar-benar seperti jimat digital, sakti mandraguna. Kalau dikelola dengan baik, bisa membawa seseorang dari gorong-gorong Jakarta ke Istana Negara, seperti yang terjadi pada Jokowi. Setelah ia sukses menjadi Gubernur DKI, teknologi ini terus digunakan oleh timnya untuk menguatkan citranya. Bahkan, aksi Jokowi yang masuk ke gorong-gorong parit menjadi viral dan seolah-olah ia adalah sosok superhero yang berani kotor demi rakyat. Netizen ramai memuji, beberapa bahkan sampai membela Jokowi mati-matian di media sosial, tak rela idolanya diremehkan. Siapa yang menyangka aksi sederhana seperti itu bisa membuat perdebatan sengit antar teman dan keluarga?
Namun, saat belum selesai lima tahun sebagai gubernur, wacana pencalonan Jokowi sebagai Presiden di Pilpres 2014 mulai merebak. Seperti biasa, media sosial kembali dimanfaatkan untuk membentuk narasi yang cerdas: “Jokowi tak bisa atasi persoalan bnjir, macet, dll di Jakarta hanya dari Balaikota. Kalau benar-benar mau ubah negeri ini, Jokowi harus ada di Istana Negara!” Sekali lagi, citra ini menyebar, dan dengan bantuan algoritma, narasi “Jokowi adalah kita” versus “Prabowo adalah pelanggar HAM” terbentuk. Strategi canggih ini membawa Jokowi dengan mulus ke kursi Presiden RI periode 2014 – 2019 dan 2019 – 2024.