Oleh: Tundra Meliala (Ketua Umum Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI) Pusat)
JAKARTA || Bedanews.com – PAGI, akhir Agustus 2025, Jakarta yang lembab seperti ikut menahan napas ketika kabar mundurnya Sri Mulyani mengalir deras di linimasa. Rumah dinasnya yang porak-poranda akibat amarah demonstran, menjadi simbol dari ketegangan sosial yang lama disimpan rakyat: ketidakadilan gaji pejabat, ketimpangan dan ruang fiskal yang semakin sesak.
Di tengah kekisruhan itu, satu nama muncul menggantikan: Purbaya Yudhi Sadewa. Ketika mobil dinasnya berhenti di halaman Kementerian Keuangan, seorang staf muda berbisik lirih, “Pak Purbaya itu gayanya santai, tapi pikirannya rapi.”
Ucapan itu mungkin tepat, atau setidaknya menggambarkan harapan banyak orang. Purbaya datang bukan sebagai teknokrat yang didandani politisasi, tetapi sebagai ekonom yang telah melintasi industri, ruang riset dan meja kekuasaan selama hampir tiga dekade.












