Oleh: Damai Hari Lubis
JAKARTA || Bedanews.com – Laporan di akhir tahun 2024 OCCRP, kepanjangan nama dari *_Organized Crime and Corruption Reporting Project,_* organisasi nirlaba yang didirikan pada tahun 2006 oleh Drew Sullivan dan Paul Radu, dua jurnalis berpengalaman dalam investigasi kejahatan terorganisir lintas negara.
Dan OCCRP sejatinya merupakan Organisasi Jurnalisme Investigatif, yang berbasis di Amsterdam, serta Sarajevo, Bosnia dan Herzegovina, baru saja secara resmi mengumumkan dan kemudian diberitakan oleh TEMPO.CO, bahwasanya OCCRP mengumumkan Jokowi saat menjadi Presiden RI masuk dalam nominasi finalis tokoh Kejahatan Terorganisasi dan Korupsi 2024. Presiden RI ke 7 Jokowi menjadi salah satu dari lima finalis lain yang paling banyak dipilih tahun ini. Keempat tokoh lain yang masuk ke dalam kategori itu Presiden Kenya William Ruto, Presiden Nigeria Bola Ahmed Tinubu, Mantan Perdana Menteri Bangladesh Hasina, dan Pengusaha dari India Gautam Adani.
Lalu, TEMPO juga memuat bantahan yang disampaikan oleh Jokowi pada 31 Desember 2024 di Solo, Jawa Tengah, ketika dipertanyakan umat pers-jurnalis tentang tanggapan dirinya yang diberitakan selaku presiden terkorup. Jokowi membantah dengan mempertanyakan, “jika dirinya disebut terkorup, apa yang dikorupsi oleh dia. Jokowi meminta penilaian tersebut dibuktikan. Jokowi meminta agar soal penilaian terkorup itu ditanyakan kepada yang membuat pengumuman.”
Menurut publik, hal jawaban ini menandakan Jokowi, benar pelaku korupsi, sesuai seperti isi berita (OCCRP), karena selama ini (bad attitude), Jokowi terbukti selaku pemimpin yang suka berbicara terbalik, alias pembohong besar, karena fakta berdasarkan data empirik menunjukan andai dia bilang A maka kenyataannya B. Contoh, sudah ada pemesan mobil ESEMKA puluhan ribu ternyata zonk, ekonomi Indonesia akan meroket, masyarakat miskin akan 0 % pada tahun 2024, IKN akan diresmikan tahap pertama pada tahun 2024 termasuk kepindahan ASN yang ada di Jakarta ke IKN pada September 2024 plus catatan publik lebih 100 X Jokowi melakukan kebohongan publik, termasuk mengaku lulusan S 1 dari fakultas Kehutanan UGM. Namun semuanya BOHONG BESAR dan saat ini, selepas lengser masih juga bicara terbalik, Jokowi menyatakan dirinya tidak pernah menginginkan presiden 3 periode, *_MAKA LAGI- LAGI JOKOWI DUSTA BESAR KARENA BANYAK BUKTI DARI PERILAKU PEMBIARAN DIRINYA TERHADAP WACANA 3 PERIODE_* dari para pembantunya dan termasuk, LBP (110 juta big data) bahkan telah menimbulkan kegaduhan (kematian, penganiayaan dan juga laporan/LBP diadukan oleh publik ke Mabes Polri, juga Airlangga, Bahlil, Zulhas dan terakhir adanya penolakan Jokowi 3 periode yang disampaikan secara implisit oleh Ketum PDIP Megawati yang terekam melalui video serta beredar luas.
Maka terhadap penyangkalan Jokowi bahwa, dirinya tidak korup maka atas dasar track record kebohongannya *_MAKA PUBLIK MALAH MEYAKINI JUSTRU BANTAHANNYA BERTANDA KEBALIKANNYA, ARTINYA DIPAHAMI BAHWA JOKOWI BENAR MELAKUKAN KORUPSI_*
Namun semua ini tentu sebagai praduga publik, namun publik memiliki indikasi kuat *_Jokowi berbohong setelah realitas Jokowi TIDAK MELAPORKAN OCCRP ke pihak interpol (International Criminal Police Organization) oleh pihak kepolisian di Mabes Polri yang berkoordinasi dengan Kemenlu, imigrasi dan pihak atase/Konsulat RI dan atau dengan perwakilan negara asing yang ada di Negara RI atau bekerja sama dengan menjalin kerjasama (berkoordinasi) dengan pemerintah negara asing dimana organisasi asing dan warganya (warga negara asing) yang TKP nya atau locus delict terjadinya peristiwa pidana di negara yang di luar wilayah NRI._* pelaporan tersebut sangat berkualitas secara hukum, oleh sebab memiliki principle of legality atau memiliki asas legalitas (dasar hukum yang non retro aktif) dan asas teori hukumnya terdapat di dalam Pasal 4 KUHP yang dikenal sebagai *_Asas Nasional Pasip_* maka publik harus menunggu dan monitoring, apakah Jokowi riil serius menolak dirinya dikatakan korup?
Karena eksistensi Asas Nasional Pasif yang terdapat dalam sistim hukum Negara RI (Pasal 4 KUHP atau Undang-Undang No.1 Tahun 1946) historis hukumnya memang dimaksudkan untuk dapat diberlakukan bagi setiap orang, baik Warga Negara Indonesia maupun Warga Negara Asing yang melakukan tindak pidana di luar wilayah Indonesia sepanjang perbuatan itu nyata melanggar kepentingan Indonesia.
Oleh sebab hukum pasal ini berkualitas dengan pokok peristiwa tuduhan, sebab materi tuduhan dari OCCRP menyangkut eks Presiden RI yang harus dijaga nama baik, atau kehormatan dan martabatnya, oleh karenanya mutatis mutandis sosok Jokowi selaku bekas Presiden RI tentu menyangkut nama baik selain khususnya kepada pribadi Jokowi, juga kehormatan negara RI di mata dunia internasional dan tercantum sejarah bangsa ini.
Lalu tindakan hukum apa yang bakal dilakukan Kapolri, Listyo Sigit, selaku pemangku jabatan setingkat Menteri orang kepercayaan Jokowi yang tetap dipercaya oleh Jokowi hingga saat ini dan terbukti tetap dipakai oleh Jokowi walau kabinet sudah bukan lagi dibawahnya. Mari bangsa ini sabar menunggu apakah ada geliat atau setidaknya diawali dengan statement dari Kapolri bersama Menteri Luar Negeri atau aparat dari Kemenlu atau bahkan dari Jokowi langsung, yang tidak cukup sekedar membantah perilaku korupsi yang hanya diawal, namun setidaknya melalui statemen Kapolri, lalu akankah Kapolri bekerja serius untuk melaporkan atas nama sahabat setianya Jokowi, bekas Presiden RI selain dan demi kehormatan NKRI dan bendera merah putih serta demi wibawa dan martabat seluruh anak bangsa Indonesia, dimata negara-negara Intensional.
Lalu hal terpenting lainnnya, apakah KPK atau Jaksa Agung RI dan atau Kapolri akan melakukan upaya penyelidikan dan penyidikan diperintah atau tanpa perintah Presiden RI Prabowo Subianto, terkait dan dalam hubungannya terhadap informasi organisasi jurnalis investigasi resmi dunia (OCCRP), selain informasi bahwa Jokowi presiden terkorup pun beritanya (saat menjadi presiden) sudah mendunia dan transparansi terbuka dimata internasional.
Maka perkara korupsi adalah kejahatan tindak pidana khusus yang extra ordinary crime, atau delik yang luar biasa, yang tidak harus adanya laporan atau pengaduan kepada institusi penegakan hukum (delik biasa) atau bukan delik aduan, tentu salah satu lembaga penegakan hukum (law enforcement) di Tanah air apakah KPK atau Jaksa Agung atau Polri, memang penting segera melakukan investigasi (penyelidikan dan penyidikan) demi keselamatan uang negara atau uang rakyat, bahkan aparatur yang kelak bertugas berdasarkan alasan subjektivitas yang dimiliki berdasarkan pasal 21 ayat (1) KUHAP dapat langsung menangkap dan menahan Jokowi andai menemukan bukti permulaan yang cukup.
Alasan subjektivitas ini penting digunakan oleh para aparatur penyidik, mengingat serta mempertimbangkan karakteristik berdasarkan track record (rekam jejak disertai data empirik) *_SOSOK JOKOWI MERUPAKAN PEMBOHONG BESAR, sehingga penyidik (KPK atau Kejaksaan atau Polri) butuh pola antisipasi menggunakan hak subjektivitas, dengan tujuan substantif, semata-mata agar Jokowi tidak buat masalah yang bakal merepotkan serta merugikan negara dari banyak sisi, andai Jokowi melarikan diri, menghilangkan barang bukti atau berkeliaran lalu mengulangi perbuatan (melakukan tindak pidana lagi)._*
Penulis adalah:
– Eks Ketua 1 DPP GNPK/Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi,
– Sekretaris Dewan Kehormatan DPP KAI/Kongres Advokat Indonesia