Lalu, mari kita tengok realitas yang terjadi di tanah air. Wartawan-wartawan istana, mereka yang setiap hari meliput kegiatan Presiden dan pemerintahan pusat, seringkali terlihat duduk di luar pagar istana, bahkan di lantai, hanya demi bisa menyimak informasi atau pernyataan resmi yang disampaikan lewat layar televisi. Sebuah pemandangan yang mengusik nurani: di negeri sendiri, di pusat kekuasaan republik ini, para jurnalis tidak diberi ruang dan tempat yang layak untuk menjalankan tugasnya.
Ironisnya, pemandangan ini tak ubahnya seperti suasana di ruang kedatangan Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, yang merupakan pintu masuk negara dan wajah pertama bangsa kita di mata dunia. Di sana, sering terlihat penumpang yang baru tiba, termasuk jemaah umrah, duduk bersila di lantai, makan dari kotak nasi bungkus, menikmati makanan Padang dengan tangan kosong, tanpa alas, tanpa meja, di tengah lalu lintas manusia yang ramai. Sebuah potret yang mencerminkan bukan hanya kekurangan fasilitas, tapi juga kurangnya kesadaran kolektif akan pentingnya menjaga martabat publik.