Pada faktanya, program tersebut diadakan hanya sebulan sekali atau bahkan beberapa bulan sekali, sedang kebutuhan akan biaya hidup berlangsung setiap hari. Belum lagi jumlah rupiahnya yang tidak sesuai dengan laju kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Lambat laun, program-program tersebut akan berakhir dan masyarakat kembali harus berjuang menanggung beban hidup yang kian berat.
Oleh karena itu, jika keadaan ini dikaitkan dengan program pemenuhan gizi keluarga, hal ini tidak ubahnya hanya sebatas narasi sekaligus wujud nirempati pemerintah kepada rakyatnya. Selain itu menunjukkan bahwa penguasa saat ini belum memahami akar masalah gizi buruk, serta solusi tuntas mengatasinya.
Kondisi tersebut tentunya tidak lepas dari cara pandang kapitalisme, di mana hubungan antara pemerintah dan rakyat seperti pedagang dan pembeli. Sistem ekonomi kapitalisme juga meniscayakan struktur/mekanisme harga (untung dan rugi) sebagai indikator utama pendorong laju produksi sekaligus penentu distribusi barang dan jasa. Bukan pada pelayanan masyarakat.












