Jika kita amati, kebebasan pers yang cenderung ”kebablasan” itu terutama terjadi karena kepentingan bisnis media lebih mengemuka dibanding kepentingan idealnya karena tingginya biaya operasional perusahaan pers yang bersangkutan.
Di era Reformasi yang kemudian masuk ke era digital, tercatat banyak media cetak yang gulung tikar, sementara media-media online cenderung mengejar jumlah viewer sebanyak-banyaknya, dan media elektronik, khususnya media televisi cenderung lebih mengejar “rating”.
Khusus perkembangan pers di Indonesia, di era Reformasi sebenarnya terjadi penyempurnaan dengan keluarnya UU No. 40 Tahun 1999 tanggal 23 September 1999 tentang Pers yang antara lain menegaskan bahwa terhadap pers nasional tidak diperbolehkan lagi adanya penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran.












