Dalam kerangka hukum adat yang berlaku secara nasional, sebagaimana dimuat dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bersandar pada prinsip ini, maka Karaton Surakarta sebagai masyarakat hukum adat—yang telah hidup jauh sebelum Indonesia berdiri—tetap diakui eksistensinya. Dengan demikian, pemimpin tertinggi dalam struktur masyarakat adat Karaton, yakni Sinuwun, memiliki legitimasi hukum sebagai pemangku otoritas adat tertinggi.
Tidak ada satu pun pasal dalam Kepres tersebut yang menunjuk atau mengalihkan kewenangan kepemimpinan adat kepada lembaga lain selain Raja atau Sinuwun. Bahkan pengelolaan Karaton ditegaskan tetap berada dalam koridor kultural dan adat istiadat yang diwarisi secara turun-temurun.