Seperti kata Ki Hadjar Dewantara, “anak-anak hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri.” Maka biarlah mereka tumbuh, bukan dikekang; diarahkan, bukan ditentukan. Mereka bukan miniatur dari kita. Mereka adalah peradaban yang sedang bertunas.
Anak-anak hari ini hidup di dunia digital yang serba cepat, penuh informasi, dan terbuka. Mereka bukan hanya konsumen teknologi, tapi juga kreator. Mereka membuat konten edukatif, menyuarakan keresahan sosial, bahkan memulai gerakan lingkungan sejak usia belasan. Di usia yang sama, kita dahulu baru belajar menanam kacang hijau di kapas.
Tetapi sering kali, tumbuh di dunia digital juga membuat anak-anak rentan. Tekanan untuk tampil sempurna, ketergantungan pada validasi daring, hingga paparan konten dewasa yang tak terfilter membuat banyak anak tumbuh cepat, tapi tidak mendalam. Mereka kreatif, namun cemas. Cerdas, namun mudah patah. Penuh ide, namun kesepian. Kita menyaksikan dua dunia yang berjalan bersamaan anak-anak dari tradisi lama yang tangguh namun kadang kurang akses, dan anak-anak dari dunia modern yang terbuka namun kadang kehilangan pijakan.