Fenomena ini sejatinya bukan anomali, melainkan bagian dari pola global. Arab Spring pada 2011 menggulingkan rezim otoriter di Tunisia, Mesir dan Libya akibat korupsi, kesenjangan dan arogansi kekuasaan. Thailand pada 2020 menyaksikan protes mahasiswa melawan militerisme dan privilese monarki. Hong Kong pada 2019 menjadi saksi jutaan rakyat yang turun ke jalan melawan kebijakan otoritarian Beijing. Semua contoh ini mengajarkan satu hal: ketika suara rakyat diabaikan dan jarak antara elite dan rakyat melebar, jalanan menjadi instrumen koreksi terakhir.
Bagi Indonesia, peringatan ini jelas. Demokrasi Pancasila menegaskan bahwa, kedaulatan berada di tangan rakyat. Jika kemarahan rakyat Agustus 2025 diabaikan, Indonesia berisiko mengalami krisis legitimasi sebagaimana yang terjadi di negara-negara yang gagal merespons aspirasi warganya. Sejarah telah cukup memberi pelajaran: represi mungkin menunda, tetapi tidak pernah memadamkan tuntutan keadilan.