Ketiga, negara wajib melarang dengan keras setiap para pejabatnya untuk menerima suap dan hadiah yang berpengaruh kuat sebagai sogokan (risywah). Karena perbuatannya itu jelas melanggar aturan syariat Islam.
Keempat, negara berhak menghitung kekayaan yang dimiliki oleh setiap pegawainya sebelum dan sesudah menjabat. Jika diperoleh perbedaan yang signifikan maka akan ditindaklanjuti secara detail, apakah harta yang didapatkan selama menjabat benar hasil muamalah dan harta halal lainnya atau justru hasil dari korupsi.
Kelima, negara wajib memberikan hukuman yang memberikan efek jera bagi siapa saja yang berani korupsi. Tentu saja hukuman yang diberikan disesuaikan dengan apa yang telah dilakukannya. Islam sendiri memiliki pandangan bahwa hukuman itu berupa peringatan, penyitaan harta, pengasingan, hukuman kurungan, cambuk, bahkan sampai hukuman mati. Terhadap kasus korupsi dikenai sanksi ta’zir (kebijakan Qadhi/hakim). Bentuk sanksinya bisa mulai dari yang ringan. Seperti peringatan dari hakim, bisa berupa penjara, didenda, pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir), hukuman cambuk, hingga sanksi yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Semua hukuman tersebut bersifat jawabir (sebagai penebus dosa) dan zawajir (sebagai pencegah terjadinya tindak korupsi lagi).