Terlepas apakah RUU PKS berganti nama menjadi RUU TPKS, tidak begitu penting. Yang menjadi persoalan saat ini, apakah UU tersebut mampu menjadi payung hukum bagi korban kekerasan seksual, menghukum dengan sanksi yang berefek jera bagi pelaku kejahatan kekerasan seksual, dan memberantas tuntas semua kasus kejahatan seksual ataukah tidak. Jangan sampai jauh panggang dari api. Karena yang sudah-sudah, berbagai UU telah disahkan, namun masih juga belum mampu memberantas kekerasan seksual di negeri ini. Mulai dari UU 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU 23/2004 tentang KDRT, UU 23/2008 tentang Pornografi, dan UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak.
Maka sesuatu yang impossible bila desakan menggolkan RUU TPKS hanya sekadar melindungi perempuan dan anak dari kekerasan seksual. Tentu ada udang di balik batu, ada kepentingan tertentu dan sarat dengan politik. Sebagaimana yang disampaikan oleh pengamat kebijakan publik, Trubus Rahadiansyah. Ia mengatakan bahwa pembahasan RUU PKS urgensinya belum ada, belum mendesak untuk dibahas. Ini menunjukkan pertarungan di mana ada kompetisi antar partai untuk mencari lebih ke arah, “pokoknya berkaitan dengan 2024.”