Bak sudah jatuh tertimpa tangga, tampaknya itulah peribahasa yang mampu menggambarkan kondisi KPI saat ini. Bagaimana tidak, belum usai kasus dugaan pelecehan seksual dan perundungan yang melibatkan tujuh pegawainya, bebasnya pedangdut kawakan Saipul Jamil dari Lapas Cipinang, Jakarta Timur, rupanya menambah masalah bagi KPI.
Dilansir oleh Tribunnews.com, (06/9/2021), kontroversi kembalinya Saipul Jamil ke layar televisi, mengakibatkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai pengatur penyelenggaraan penyiaran di tanah air kembali menjadi sorotan publik dan menuai kritik pedas dari berbagai kalangan. Publik mempertanyakan kinerja KPI dan merasa tak habis pikir bagaimana seorang mantan narapidana pelecehan seksual masih diberi karpet merah. Pasalnya, baru sehari bebas, Saipul Jamil sudah tampil di beberapa stasiun televisi tanah air.
Untuk diketahui, sebelumnya KPI tengah menjadi perbincangan hangat. Lantaran, seorang pria berinisial MS yang berstatus pegawai KPI Pusat mengaku telah menjadi korban pelecehan seksual oleh sesama pegawai KPI selama periode 2011-2020. Mirisnya, kasus ini baru ditangani serius oleh KPI dan polisi setelah surat terbuka dari MS beredar luas di kalangan warganet dan desakan kuat dari publik muncul. (Kompas.com, 3/9/2021)
Sejatinya, sejak awal berdiri Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) adalah lembaga negara yang bersifat independen mengatur hal-hal mengenai penyiaran. Yang bertugas memfilter berbagai tayangan baik yang berbau pornografi dan sejenisnya. Namun, jika merujuk pada fakta terkuaknya pegawai KPI sebagai pelaku pelecehan seksual, hingga masih wara-wirinya Saipul Jamil di layar kaca, muncul pertanyaan besar apakah KPI masih mampu menjalankan fungsinya ataukah tidak?
Menyaksikan fakta di atas, sikap toleran KPI atas tampilnya Saipul Jamil di TV, menjadi bukti nyata bahwa fungsi KPI telah bergeser dari fungsi yang sebenarnya. KPI pun tak mampu peka terhadap perasaan masyarakat. Karena telah membiarkan mantan narapidana pelaku pedofil tetap eksis. Meskipun akhirnya hal tersebut tidak berlangsung lama, namun masyarakat kadung kecewa.
Di sisi lain, lambannya respon atas kasus kekerasan seksual beramai-ramai yang melibatkan pegawai KPI, setelah ada desakan kuat dari publik, menegaskan bahwa lembaga KPI ini begitu lunak memperlakukan pelaku kekerasan seksual.
Jika kita telusuri, maraknya kasus kekerasan seksual di negeri ini, menjadi indikasi abainya pemerintah memberikan pengawasan terhadap warganya yang melanggar norma asusila. Tidak adanya sanksi tegas dari pemerintah beserta aparat berwenang menjadi penyebab kasus yang sama terus berulang. Meskipun banyak pihak mencoba menyelesaikan masalah kekerasan seksual, namun sejauh ini solusi yang mereka tawarkan hanyalah solusi tambal sulam yang tidak pernah mampu menyelesaikan masalah dengan tuntas.
Seperti hukum kebiri misalnya. Meskipun hukum ini terkesan berat, tapi nyatanya hukum kebiri justru berpotensi memunculkan masalah baru. Pelaku kekerasan seksual yang dikebiri, dapat melakukan kejahatan seksual dalam bentuk lain dan bahkan lebih berbahaya serta tidak dapat dikendalikan.
Gagalnya rezim memberikan solusi terhadap permasalahan kekerasan seksual, sebagai akibat diterapkannya aturan kufur yakni sistem kapitalisme-sekuler produk impor Barat yang mengagungkan kebebasan dan hedonisme. Sistem ini telah nyata menyeret manusia ke dalam jurang kehancuran bahkan lebih dalam lagi. Paham sekuler (pemisahan agama) dari kehidupan dalam sistem ini, telah menjauhkan manusia dari keimanan dan ketakwaan yang menjadi benteng pencegah manusia untuk melakukan perbuatan dosa.
Ironisnya, negara dan penguasa dalam sistem ini hanya berperan sebagai regulator, sehingga perlindungan dan keamanan bagi individu dan masyarakat yang semestinya menjadi tanggung jawab penguasa dan negara tak ditemukan dalam sistem ini.
Sungguh, kekerasan seksual sampai kapanpun akan tetap menjadi wabah menjijikkan yang menyebar di negeri mayoritas muslim. Itulah sebabnya, untuk memberantas kejahatan ini dibutuhkan sikap tegas dan hukuman menjerakan. Namun sayang, selama sistem kapitalisme-sekuler dipraktekkan, masalah ini tidak akan menemui jalan keluar. Pasalnya, sanksi yang diberikan terhadap tindak kejahatan dalam sistem ini tidak pernah bisa memberikan efek jera. Bahkan, definisi kekerasan seksual saja bisa terus mengalami perubahan. Sebagaimana yang terjadi pada RUU PKS (Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual).
Awalnya hadirnya RUU ini dianggap akan memberi perlindungan bagi korban dan pencegahan terjadinya kekerasan seksual. Namun seiring berjalannya waktu, justru beberapa kali mengalami perubahan. Karena muncul pro dan kontra lantaran definisi kekerasan seksual masih bias; penyimpangan dan kekerasan seksual tak masuk dalam klausul di RUU ini. (Detik.com, 3/9/2021)
Untuk menyelesaikan masalah kekerasan seksual hingga ke akar, kita membutuhkan sistem kokoh yang mampu menjadi solusi solutif. Sistem itu tiada lain adalah sistem Islam (khilafah).
Sebagai agama paripurna, Islam hadir untuk menyelesaikan segala problematika kehidupan, baik dalam tatanan individu, masyarakat, maupun negara. Sejarah mencatat, hampir 14 abad lamanya, Islam dan syariatnya mampu menjadi solusi untuk masalah kehidupan. Termasuk masalah kekerasan seksual.
Untuk mencegah perilaku kekerasan/penyimpangan seksual, negara Islam (khilafah) dan penguasa Islam (khalifah) akan mengerahkan segenap kemampuan agar masalah ini segera teratasi dan tidak berulang. Khilafah tidak akan membiarkan satu pun rakyatnya mengalami kekerasan seksual. Khilafah juga akan membina ruhiyah umat sesuai syariat.
Sejak dini, negara dan pemimpin Islam menerapkan pendidikan agama yang kuat kepada umat. Sehingga umat menjadi pribadi bertakwa dan beradab ketika berinteraksi dengan sesamanya. Jauh dari pelecehan apalagi penyimpangan seksual.
Selain itu, Islam akan mengondisikan lingkungan masyarakat yang bersih dan bebas dari hal-hal yang berbau maksiat. Batasan antara laki-laki dan perempuan akan dijaga. Sehingga antara laki-laki dan perempuan bisa menjaga pandangan satu sama lain. Islam juga menetapkan penyaluran hasrat hanya dapat dilakukan melalui hubungan pernikahan.
Islam pun akan memberikan sanksi tegas kepada siapa saja yang terbukti melanggar syariat. Bentuk dan jenis sanksi ini ditetapkan sesuai dengan kadar kejahatan yang dilakukan. Jika kejahatan yang dilakukan berupa sodomi (liwath) maka Islam akan memberlakukan hukuman mati. Adapun jika yang dilakukan adalah pelecehan seksual (at taharusy al jinsi) tidak sampai pada perbuatan zina/homoseksual, maka hukumnya ta’zir (sanki yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim).
Tentunya, sanksi dan hukuman ini bisa bersifat sebagai pencegahan sekaligus memberikan efek jera bagi pelaku maupun orang lain. Negara khilafah juga akan membatasi media-media yang ada untuk menyiarkan hal-hal yang sesuai dengan syariat dan akan bertindak tegas bagi media yang nakal dan berani tidak nurut. Dengan demikian maka peluang lahirnya kejahatan serupa akan tertutup rapat.
Demikianlah penjelasan tentang betapa sempurnanya Islam dalam menjaga umatnya dari berbagai bentuk tindak kejahatan. Dari penjelasan di atas, maka jelaslah hanya Islam satu-satunya solusi hakiki bagi setiap permasalahan kehidupan. Tak terkecuali masalah kekerasan seksual.
Karena itu, marilah kita kembali kepada Islam beserta syariatnya dengan kembali menerapkan aturan Islam kaffah dalam seluruh sendi kehidupan. Serta menjadikan Islam sebagai satu-satunya pedoman hidup, yang dengannya kita akan mampu menyelamatkan umat dari kehancuran.
Allah Swt. berfirman:
“Dan janganlah kalian mendekati zina; sesungguhnya zina itu termasuk perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk.” (TQS. Al-Isra: 32). Wallahu a’lam bi ash-shawwab.