Sudah hampir satu tahun Pandemi virus Corona melanda negeri tercinta ini. Berbagai kebijakan pun dilakukan pemerintah untuk mengatasi pandemi ini, namun sampai saat ini masyarakat masih belum merasakan hasil yang efektif dan efisien dari kebijakan tersebut. Justru yang terjadi saat ini kasus harian positif covid terus mengalami peningkatan. Begitupun di Jawa barat, kurva positif covid tidak kunjung melandai. Bahkan cenderung terus meninggi setiap harinya.
Berkaitan dengan itu, setelah upaya 3M dan 3T ternyata belum bisa memberikan pengaruh besar terhadap upaya menekan kasus covid. Kali ini pemerintah melakukan upaya vaksinasi agar terbentuk ketahanan komunal atau herd immunity. Dengan program ini pemerintah berharap bisa mengurangi angka kesakitan dan kematian di masyarakat.
Sebagaimana mengutip di laman website resmi Humas Jabar, bahwa Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil yang juga Ketua Komite Kebijakan Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Daerah Provinsi Jabar memimpin konferensi video terkait rencana vaksinasi, bersama organisasi profesi, tokoh agama, hingga masyarakat, dari Gedung Pakuan, Kota Bandung, Selasa (12/1/2021).
Dalam pertemuan ini beliau juga menegaskan bahwa untuk calon penerima vaksin yang menolak akan ada sangsi tegas. Karena mereka termasuk orang-orang yang membahayakan. Berhubungan dengan saat ini urgensi vaksinasi COVID-19 sangat tinggi di tengah masa pandemi.
“Maka bagi mereka yang sudah wajib divaksin dan menolak, berdasarkan UU Nomor 4 Tahun 84 dan UU Nomor 6 Tahun 2018, siapa yang menolak vaksinasi, ditahan satu tahun atau denda maksimal Rp100 juta,” tambahnya.
Tentu pemberian sangsi tersebut menjadi kontroversi di kalangan masyarakat. Hal ini disebabkan karena track record pemerintah sendiri yang selama ini abai terhadap kepentingan masyarakat. Walaupun hukuman tersebut diberikan karena alasan menghambat penyelesaian Pandemi. Namun, hal ini bukan cara komunikasi yang baik kepada masyarakat.
Alih-alih mematuhi peraturan yang ada, masyarakat justru akan berfikir negatif terhadap pemerintah. Kenapa selalu berujung ancaman pidana bila berhubungan dengan masyarakat. Seolah-olah akar masalah hanya pada dukungan masyarakat. Padahal, kesemrawutan masalah pandemi tidak lepas dari kegagalan sistem demokrasi kapitalisme yang di adopsi negeri ini di ranah kesehatan.
Kegagalan ini begitu nyata pada sistem pelayanan kesehatannya yang berbasis industrialisasi dan komersialisasi. Situasi pelayanan kesehatan yang mengerikan digambarkan WHO sebagai berikut,
“Bukan hanya persoalan jumlah kasus dan kematian yang tinggi, yang tak kalah penting adalah masih tingginya jumlah pasien yang membutuhkan rawat inap dan perawatan lanjutan. Hal ini mengakibatkan tekanan besar pada sistem kesehatan dan berpengaruh terhadap penyediaan layanan kesehatan lainnya”.
Di negara kita saja, kondisi yang mengkhawatirkan ini sungguh nyata. Pengidap positif Covid-19 meningkat cepat, diikuti tekanan hebat pada sistem pelayanan kesehatan yang sejak awal juga sudah rapuh. Fakta membuktikan bahwa terjadi liberalisasi-komersialisasi pelayanan kesehatan melalui pembiayaan kesehatan berbasis asuransi kesehatan wajib.
Diperparah dengan liberalisasi fungsi negara. Yakni, negara berlepas tanggung jawab dalam pengurusan hajat pelayanan kesehatan publik dengan berfungsi sebagai regulator bagi kepentingan korporasi khususnya korporasi BPJS Kesehatan. Walhasil, ruang pelayanan kesehatan yang semestinya dilingkupi puncak kemanusiaan dan kenyamanan, berubah menjadi tempat yang tidak ramah pada pasien dan kemanusiaan. Masyarakatpun sulit memperoleh pelayanan rumah sakit yang murah dan terjangkau.
Semua ini membuktikan kegagalan sistem demokrasi kapitalisme dalam mengatasi pandemi. Pun kesalahan merespon Pandemi sejak awal yaitu berupa pemutusan rantai penularan segera dengan seminimal mungkin angka kesakitan dan kematian, membuat Pandemi ini terus meluas ke seantero negeri ini.
Maka, sungguh penegakan hukum-hukum syariat Islam adalah kunci bagi penyelesaian persoalan umat hari ini, termasuk pandemi Covid-19 yang mendunia. Syariat Islam menuntun umat sekaligus negara untuk melakukan sikap yang efektif dan efisien saat terjadi Pandemi, hal ini tercermin di dalam hadits :
“Apabila kalian mendengarkan wabah di suatu tempat maka janganlah memasuki tempat itu, dan apabila terjadi wabah sedangkan kamu sedang berada di tempat itu maka janganlah keluar darinya.“ (HR Imam Muslim).
Artinya, tidak boleh seorang pun yang berada di areal terjangkiti wabah keluar darinya. Juga, tidak boleh seorang pun yang berada di luar areal wabah memasukinya. Prinsip ini sangat efektif untuk pemutusan rantai penularan wabah. Juga dengan sendirinya menjamin masyarakat yang berada di luar areal wabah tercegah dari kasus impor (imported case).
Di sisi lain, sistem ekonomi Islam, sistem politik Islam, dan sistem kesehatan Islam sendiri begitu serasi dengan berbagai kebijakan yang dibutuhkan bagi pemutusan rantai penularan dan pemberantasan pandemi.
Kehadiran negara sebagai pelaksana syariah secara kaafah, khususnya dalam pengelolaan kekayaan negara menjadikan negara berkemampuan finansial yang memadai untuk menjalankan berbagai fungsi dan tanggungjwabnya. Tidak terkecuali tanggungjawab menjamin pemenuhan hajat setiap orang terhadap pelayanan kesehatan. Gratis, berkualitas terbaik serta terpenuhi aspek ketersedian, kesinambungan dan ketercapaian.
Dalam hal ini negara harus menerapkan konsep anggaran mutlak, berapapun biaya yang dibutuhkan harus dipenuhi. Karena negara adalah pihak yang berada di garda terdepan dalam pencegahan dan peniadaan penderitaan publik. Demikianlah tuntunan ajaran Islam yang mulia.
Adapun vaksinasi hanya bagian dari salah satu ikhtiar untuk bisa menghindari suatu penyakit. Bukan, dijadikan satu-satunya solusi untuk mengakhiri Pandemi seperti yang saat ini terjadi. Begitu mulianya Islam yang tercermin dalam syari’at nya yang sesuai dengan fitrah manusia dalam menyelesaikan seluruh problematika kehidupan. Wallahua’lam bishowab