JAKARTA || Bedanews.com – Guru Besar Universitas Terbuka (UT), Prof. Dr. Hanif Nurcholis, M.Si menyampaikan kritik tajam terhadap sistem demokrasi di Indonesia yang dianggap terlalu berlebihan atau “lebay”.
Menurutnya, pola demokrasi saat ini tidak hanya menguras anggaran negara hingga puluhan triliun rupiah, tetapi juga minim manfaat bagi kesejahteraan rakyat.
“Indonesia adalah negara yang paling lebay berdemokrasi. Presiden, Kepala Daerah, anggota DPR/DPD/DPRD, Kepala Desa, Ketua RW, hingga Ketua RT semuanya dipilih langsung. Ini hanya menghabiskan uang negara, termasuk uang utang, tanpa dampak signifikan terhadap kesejahteraan rakyat,” ujar Hanif melalui keterangannya di Jakarta, Selasa (3/12).
Ia menjelaskan, pada tahun 2024 saja, sekitar Rp79 triliun uang negara akan digunakan untuk pemilihan Presiden, Kepala Daerah dan anggota Legislatif di tingkat Pusat dan Daerah. Selain itu, puluhan triliun lainnya akan dihabiskan untuk pemilihan Kepala Desa yang jumlahnya mencapai 80 ribu lebih.
Hanif menyoroti perbedaan mendasar sistem demokrasi di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara yang menjadi pionir demokrasi seperti Amerika Serikat, Belanda, dan Prancis. Di Amerika Serikat, misalnya, hanya kepala negara bagian (Gubernur) yang dipilih langsung oleh rakyat, sementara Presiden dipilih melalui Dewan Elektoral.
“Di Amerika, kepala daerah tidak semuanya dipilih langsung. Bahkan, di beberapa wilayah, tidak ada Kepala Daerah, melainkan manajer kota profesional yang diangkat berdasarkan kompetensi,” ungkap Hanif.
Sementara itu, di Belanda dan Prancis, jabatan seperti Gubernur dan Walikota tidak dipilih langsung oleh rakyat, melainkan diangkat oleh pemerintah pusat. Hal ini, menurut Hanif, lebih efektif dalam memastikan kualitas kepemimpinan dan efisiensi anggaran.
Hanif menyarankan, agar Indonesia mengadopsi kembali sistem pemerintahan daerah yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 1948. Dalam undang-undang tersebut, rakyat hanya memilih anggota DPRD, sementara Gubernur, Bupati dan Walikota diangkat oleh Pemerintah Pusat.
“Segala sesuatu yang berlebihan pasti berdampak buruk. Faktanya, setelah terpilih, banyak pejabat yang korup dan ditangkap KPK. Uang rakyat habis, tapi kesejahteraan tetap tidak tercapai,” tegasnya.
Hanif menutup dengan mengingatkan bahwa, demokrasi bukan sekadar ajang pengakuan internasional, tetapi harus memberikan manfaat nyata bagi rakyat.
“Mari fokus pada demokrasi yang sesuai dengan jiwa dan filosofi UUD 1945 asli, tanpa perlu lebay,” tutupnya. (Red).