Dari sudut pandang Lewis A. Coser, konflik ini bisa dipahami: tuntutan realistis–penolakan tunjangan DPR–bercampur konflik non-realistis yang muncul sebagai pelepasan emosi massa. Contoh klasik konflik realistis dan non-realistis dalam The Functions of Social Conflict (1956: 112-123). Konflik seperti itu tak selalu destruktif; ia bisa memperkuat solidaritas baru—antara mahasiswa, ojek daring, pekerja harian—sebagai “wajah baru” yang muncul lewat aspirasi kolektif.
Namun, ada juga sisi gelapnya: laporan menyebut adanya kelompok provokator yang sengaja menyusup dan memicu anarkisme untuk mendiskreditkan protes—cara yang mengulang taktik manipulatif saat Reformasi 1998. Jika benar, siapa yang diuntungkan? Elite politik bisa membenarkan respons represif, sementara aspirasi rakyat didesain menjadi simplifikasi: aksi bersuara —> kekacauan —> aparat diperluas kuasanya.











