
Namun sejarah kembali berulang. Tanpa sebab yang jelas, “anak mamah” ini berhenti bekerja. Tanpa keraguan. Tanpa tujuan. Yang jelas nuraninya berontak. Menjadi karyawati biasa yang hanya lulusan sekolah menengah atas, hatinya merasa ada sesuatu yang kurang. “Sesuatu” yang begitu menggelepar-gelepar yang ia sendiri pun saat itu tak mengerti. Seiring perjalanan waktu, akhirnya baru mengerti dan orang tahu, bahwa isteri dari Muhammad Kosim ini tidak bisa jadi karyawati biasa tapi harus jadi bos, punya banyak kocek, punya karyawan atau anak buah.
Alam bawah sadarnya mengatakan, dengan banyak kocek dan jadi orang kaya, apapun bisa dilakukan. Mulai dari membahagiakan orang tua, mencukupi keluarga kecilnya, bisa sedekah dan berbagi. Ajaran orang tuanya yang “tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah”, tak bisa dilakukan dengan maksimal bila hanya mengandalkan gaji sebagai karyawati biasa. Terbiasa dari kecil diperlakukan istimewa menjadi “orang penting” dan “orang kaya” bak seorang “dewi” sesuai dengan namanya, Dewi merasa tak bisa berbuat banyak.