Para Hakim berjanji untuk:
1. Menjaga integritas, kemandirian, kejujuran,
2. Memberikan pelayanan yang profesionalitas kepada masyarakat pencari keadilan,
3. Memberikan pelayanan yang akan akuntabel, responsif dan keterbukaan,
4. Memberikan pelayanan yang tidak berpihak dan perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Pro-kontra pasti terjadi dalam menyikapi aksi para hakim yang nota bene konon dianggap sebagai “wakil tuhan di bumi” dalam mengadili dan memutus perkara dan sengketa di antara warga masyarakat. Aksi pun menuai perdebatan khususnya dalam menggunakan diksi “mogok”. Apakah hakim itu pekerja biasa seperti buruh pabrik yang memang di UU Ketenagakerjaan diberi hak untuk mogok. Dalam Pasal 137 UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, mogok kerja itu harus dilakukan secara sah, tertib dan damai sebagai akibat dari gagalnya perundingan. “Sah” disini artinya adalah mengikuti prosedur yang diatur oleh Undang-Undang. “Tertib dan damai“ artinya tidak mengganggu keamanan dan ketertiban umum dan tidak mengancam keselamatan jiwa dan harta benda milik perusahaan, pengusaha atau milik masyarakat. Di sisi lain, Hakim itu ASN, tidak ada hak yang diberikan oleh UU ASN dan UU Kekuasaan Kehakiman memberikan hak untuk mogok. Jadi, istilah mogok untuk menuntut suatu perbaikan kesejahteraan atau hak lainnya itu justru akan menurunkan muruah.