Salah satu aksi “mogok sidang” sebagai tindak lanjut aksi cuti bersama berjamaah adalah aksi yang dilakukan oleh hakim-hakim di PN Makasar dengan beberapa tuntutan pokoknya (detiksulsel, 7/10/2024).
Berikut ini tuntutan hakim PN Makassar dalam aksi mogok kerja:
1. Meminta Negara dalam hal ini Pemerintah dan DPR RI untuk melakukan pemenuhan hak hakim atas kesejahteraan dan perumahan dengan melakukan revisi terhadap PP No. 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim, Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2013 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Ad Hoc, Peraturan Presiden No. 42 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2013, dan melakukan penyesuaian atas kondisi ekonomi faktual saat ini, serta mempertimbangkan besarnya tanggung jawab profesi hakim dan menyesuaikan dengan standar hidup yang layak. Revisi yang kami harapkan tidak hanya untuk kepentingan jangka pendek atau saat ini saja, namun kami berharap Pemerintah melakukan penyesuaian secara berkala setiap tahunnya terhadap hak atas keuangan para hakim,
2. Mendorong Pemerintah dan DPR RI untuk memberikan pemenuhan hak atas fasilitas yang layak bagi Hakim, utamanya hak atas perumahan, transportasi dan kesehatan. Terhadap hakim yang ditempatkan di daerah terluar, terpencil, dan di daerah kepulauan agar dapat diberikan tunjangan kemahalan, dan khusus terhadap Hakim Ad Hoc agar dapat diberikan tunjangan pajak (PPH 21) dan tunjangan purna tugas,
3. Mendorong Negara dalam hal ini Pemerintah untuk memberikan jaminan keamanan bagi Hakim dalam pelaksanaan tugasnya yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Selain itu, juga mendorong Pemerintah dan DPR RI untuk membahas dan mengesahkan RUU Contempt of Court yang memberikan perlindungan bagi kehormatan pengadilan,
4. Mendorong Negara dalam hal ini Pemerintah dan DPR RI untuk pengesahan RUU Jabatan Hakim. Beberapa peraturan per-UU-an pada fungsi yudikatif telah menempatkan hakim sebagai pejabat negara. Baik Hakim karir maupun Hakim Ad Hoc secara bersama-sama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman sebagaimana dinyatakan dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, oleh karena itu baik Hakim Karir maupun Hakim Ad Hoc sebagai pelaksana fungsi yudisial harus ditetapkan sebagai pejabat negara.