Oleh: Agusto Sulistio
JAKARTA || Bedanews.com – Proyek pembangunan Pantai Indah Kapuk (PIK) 1 dan 2 di Jakarta Utara, Tangerang dan Serang Banten dimulai sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) era mantan Presiden Joko Widodo. Proyek ini memiliki kemiripan dengan pendekatan yang ditempuh oleh mantan Perdana Menteri Malaysia, Datuk Seri Najib Razak, terutama dalam hal keterlibatan besar China dalam infrastruktur. Pada 2013, China meluncurkan Belt and Road Initiative (BRI) atau One Belt, One Road (OBOR), yang bertujuan membangun infrastruktur transportasi, pelabuhan, dan energi di Asia, Afrika, dan Eropa. Melalui inisiatif ini, China memperluas pengaruh ekonomi dan politiknya global dengan menawarkan pinjaman besar, namun dengan syarat yang cenderung menguntungkan pihak China.
Beberapa negara yang terlibat dalam OBOR kemudian menghadapi masalah utang besar yang sulit dilunasi, memaksa mereka menyerahkan kendali ekonomi dalam negerinya secara signifikan kepada China. Contohnya, Sri Lanka harus menyerahkan pelabuhan strategis Hambantota kepada China tahun 2017 setelah gagal membayar pinjaman yang membengkak. Pakistan juga berjuang melunasi proyek OBOR, yakni proyek “Koridor Ekonomi China-Pakistan” (CPEC), yang memberi beban finansial besar pada negara itu. Zambia mengalami tekanan keuangan akibat pinjaman proyek infrastruktur OBOR, hingga kehilangan kendali atas beberapa infrastruktur penting, termasuk jaringan listrik nasional mereka.
Mantan PM Malaysia, Datuk Seri Najib Razak dan Presiden RI, Joko Widodo sama-sama melihat investasi besar China, Eropa, Amerika, dll sebagai solusi cepat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastruktur. Dalam proyek PIK 1 dan 2, Jokowi memandang hal ini sebagai peluang untuk mempercepat urbanisasi dan modernisasi wilayah pesisir Jakarta dengan melibatkan konsorsium besar dan investor berkapitalisasi tinggi. Jokowi berkeyakinan proyek ini dapat memperkuat ekonomi dengan menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan daya tarik Jakarta sebagai pusat ekonomi. Namun realitas yang terjadi pelaksanaan proyek mendapat penolakan warga akibat hukum yang tebang pilih, rusaknya lingkungan, hilangnya mata pencaharian masyarakat setempat, penyeroboran tanah adat, ganti rugi lahan yang tidak sesuai serta menabrak prinsip demokrasi dan HAM.
Proyek Forest City di Johor, Malaysia kerjasama Malaysia-China Kuantan Industrial Park (MCKIP) dikembangkan dengan kerja sama modal dari China untuk membangun kawasan kota metropolitan dengan fasilitas mewah di pesisir Johor. Namun alih-alih proyek ini mengundang kritik dari masyarakat Malaysia dan Tun Mahathir Mohamad karena berpotensi menggeser kepemilikan lokal, mengurangi kedaulatan ekonomi, yang lebih menguntungkan elite dan asing daripada rakyat Malaysia. Menurut Mahathir, hal ini bisa membuat Malaysia kehilangan kendali dalam jangka panjang, mirip dengan kekhawatiran yang dihadapi negara-negara yang terlibat dalam OBOR. Seperti halnya PSN pada PIK 1 dan 2 di Indonesia, Forest City lebih ditujukan bagi kalangan atas dan bersifat eksklusif, sehingga membatasi akses masyarakat lokal ke area tersebut dan menciptakan kesenjangan sosial-ekonomi yang lebih lebar.
Berbeda dengan Najib dan Jokowi, Tun Mahathir Mohamad bersikap skeptis terhadap investasi asing dalam proyek infrastruktur yang dianggap bisa mengurangi kedaulatan ekonomi dan kontrol nasional. Mahathir secara tegas menentang proyek-proyek yang didominasi oleh investor luar, khususnya dari China. Saat kembali menjadi Perdana Menteri, Mahathir meninjau ulang sejumlah proyek besar yang dinilai tidak sesuai dengan kepentingan rakyat Malaysia.
*Kebijakan Pemimpin Berakhir di Penjara*
Kebijakan mantan Perdana Menteri Malaysia, Datuk Seri Najib Razak, yang mengutamakan investasi asing besar-besaran, terutama dari China, memicu protes rakyat dan menjadi salah satu faktor yang mengakhiri karier politiknya. Najib Razak kini tercatat dalam sejarah kelam Malaysia sebagai pemimpin yang terlibat dalam salah satu skandal korupsi terbesar 10,5 trilyun (2015) di Asia dan menjadikannya mantan Perdana Menteri pertama Malaysia yang dipenjara 12 tahun karena kasus korupsi.
Malaysia menunjukkan ketegasan luar biasa dalam menangani kasus korupsi pemimpinnya, seperti pada Datuk Seri Najib Razak, yang terbukti merugikan bangsa secara finansial dan moral. Pemerintah dan rakyatnya memiliki kesadaran kuat untuk menjaga integritas dan kedaulatan negara, menegaskan bahwa pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan harus bertanggung jawab. Langkah ini didorong oleh prinsip mempertahankan martabat bangsa melalui akuntabilitas.
Sebaliknya, di Indonesia, penegakan hukum kerap dianggap kurang tegas, dengan praktik saling sandera kekuasaan yang lebih mengutamakan stabilitas politik daripada keadilan. Kasus-kasus besar yang melibatkan pejabat tinggi sering kali mendapat perlakuan khusus, sehingga menimbulkan kesan bahwa hukum belum sepenuhnya berfungsi untuk menjaga kedaulatan ekonomi dan harga diri bangsa.
*Analisis dan Harapan Tindakan Tegas Prabowo*
Dalam menghadapi kebijakan Proyek Strategis Nasional (PSN) warisan mantan Presiden Jokowi, termasuk proyek besar seperti Pantai Indah Kapuk (PIK) 1 dan 2, Presiden Prabowo Subianto kini diharapkan mengambil sikap tegas yang melindungi kepentingan nasional dan masyarakat.
Pidato-pidato Prabowo yang menekankan kedaulatan, martabat dan kemandirian bangsa kiranya dapat diwujudkan guna memastikan bahwa PSN tidak hanya menguntungkan pihak asing atau segelintir elite, namun juga benar-benar untuk kesejahteraan masyarakat luas. Dengan mencontoh ketegasan Mahathir Mohamad meninjau ulang berbagai proyek kerjasama investasi sebagai bentuk menjaga kedaulatan dan martabat bangsa, Prabowo dapat menunjukkan komitmennya bahwa kepentingan rakyat di atas segalanya. Langkah ini tidak hanya memperkuat posisi Indonesia dalam menghadapi berbagai kesepakatan internasional, tetapi juga menjadi simbol keberanian dan kepemimpinan yang berpihak pada kedaulatan bangsa.
Namun, jika Presiden tidak meninjau ulang Proyek Strategis Nasional yang diwariskan tersebut, Indonesia berisiko menghadapi berbagai konsekuensi serius. Pertama, kesepakatan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat dapat semakin memperlebar ketimpangan sosial-ekonomi, di mana hanya segelintir pihak yang menikmati manfaat pembangunan, sementara masyarakat umum terkena dampak negatif, seperti meningkatnya harga tanah, gangguan ekosistem, atau terbatasnya akses ke fasilitas umum. Kedua, Indonesia berpotensi jatuh dalam jebakan utang yang tidak sustainable, di mana ketergantungan terhadap pinjaman asing akan semakin besar dan melemahkan kedaulatan ekonomi. Hal ini berisiko mengurangi daya tawar bangsa dalam percaturan ekonomi global serta menurunkan citra dan kepercayaan publik serta dapat memunculkan stigma negatif kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.
*AstabratA Institute, Pendiri The Activist Cyber, Aktif di Indonesia Democracy Monitor (InDemo)