Oleh LSI Denny JA
JAKARTA || Bedanews.com – Sebulan menuju pemilu, siapa yang akan berdiri di garis finis kemenangan masih menjadi teka-teki. Seperti marathon panjang, setiap langkah bisa menentukan hasil akhir.
Namun, data elektabilitas terbaru ini, walau peta jalan sementara di tengah perjalanan mereka, dapat menjadi petunjuk.
Pilkada serentak tinggal sebulan lagi. Di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DKI Jakarta, terjadi pertarungan sengit antara Koalisi Indonesia Maju Plus (KIM Plus) dan PDI Perjuangan. Bagaimana peta terbaru persaingan kedua koalisi ini?
LSI Denny JA baru saja melakukan survei pada tanggal 16-22 Oktober 2024 di tiga provinsi: Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DKI Jakarta.
Survei ini menggunakan metode Multi Stage Random Sampling, melibatkan wawancara tatap muka dengan 800 responden di masing-masing provinsi dan memiliki margin of error sekitar plus-minus 3,5%.
Survei tersebut menunjukkan pasangan yang didukung KIM Plus unggul di Jawa Tengah dan Jawa Timur, tetapi mereka bersaing ketat dengan pasangan yang didukung PDIP di DKI Jakarta.
Di Jawa Tengah, pasangan Ahmad Luthfi-Taj Yasin memimpin dengan elektabilitas 46%, sementara pasangan lawannya, Andika Perkasa-Hendrar Prihadi, meraih 28,2%. Sebanyak 25% responden belum menentukan pilihan.
Di Jawa Timur, pasangan Khofifah Indar Parawansa-Emil Elestianto Dardak unggul signifikan dengan perolehan 65,8%. Posisi kedua ditempati pasangan Tri Rismaharini-Zahrul Azhar Asumta dengan 24,5%, sementara pasangan Luluk Nur Hamidah-Lukmanul Hakim memperoleh 1%. Sisanya, 8,7%, belum menentukan pilihan.
Situasi di DKI Jakarta lebih kompetitif. Pasangan KIM Plus, Ridwan Kamil-Suswono, mendapat elektabilitas 37,4%, berimbang dengan pasangan PDIP, Pramono Anung-Rano Karno (Si Doel), yang memperoleh 37,1%. Pasangan independen, Dharma Pongrekun-Kun Wardana, meraih 4,0%, sementara 21,5% responden belum menentukan pilihan.
*Analisis Situasi di DKI Jakarta*
Mengapa pasangan yang didukung koalisi besar seperti KIM Plus tidak unggul signifikan di DKI Jakarta?
Setidaknya ada beberapa alasan. Pertama, mesin partai KIM Plus kurang efektif di Jakarta. Banyak pemilih PKS, Golkar, PKB, Demokrat, PPP, dan Nasdem cenderung memilih pasangan Pramono Anung-Rano Karno daripada pasangan yang diusung partai mereka sendiri.
Sebaliknya, PDIP lebih solid karena mayoritas anggotanya mendukung pasangan ini.
Ini menjadi pekerjaan besar bagi Ridwan Kamil – Suswono. Mengapa pemilih dari partai pengusungnya sendiri, Golkar (Ridwan Kamil) dan PKS (Suswono), lebih banyak memilih Pramono dan Rano Karno. Ada jarak yang lebar antara keputusan elit partai dan massa partai.
Kedua, pasangan Ridwan Kamil-Suswono kurang diterima oleh komunitas Betawi. Rano Karno dengan kisah “Si Doel” lebih menempel di memori pemilih Betawi.
Ketiga, popularitas Ridwan Kamil sebanding dengan Rano Karno, dengan angka 97% bagi keduanya, yang berarti tidak ada keunggulan signifikan dalam hal pengenalan figur. Untuk kasus Jakarta, Cagub Pramono banyak didongkrak oleh Cawagubnya.
*Mengapa Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak Unggul di Jawa Timur?*
Keunggulan pasangan Khofifah-Emil di Jawa Timur disebabkan beberapa faktor.
Pertama, tingkat kepuasan terhadap kinerja Khofifah sebagai gubernur incumben mencapai 88,1%.
Semua petahana selalu punya peluang untuk menang kedua kalinya, kecuali jika kinerjanya buruk. Beruntung bagi Khofifah, di mata pemilih, kinerjanya dianggap berhasil.
Kedua, popularitas Khofifah mencapai 98%, jauh di atas Tri Risma yang berada di angka 73,5%. Risma memang menjadi tokoh nasional dengan menjadi menteri di era Jokowi. Ia juga pernah menjadi wali kota Surabaya.
Namun, provinsi Jatim memiliki 29 kabupaten dan 9 kota. Surabaya hanya sebagian kecil dari Jawa Timur. Khofifah sebagai petahana gubernur sudah menjelajah lebih jauh di teritori Jatim secara keseluruhan.
Ketiga, mesin politik KIM Plus terlihat lebih solid di Jawa Timur karena basis pemilih partai mengikuti arahan koalisi. Selain itu, pasangan Khofifah-Emil juga mendapat limpahan dukungan dari pemilih PDIP dan PKB.
Ini juga pekerjaan rumah bagi Tri Rismaharini. Pemilih PDIP selaku partai pendukungnya justru lebih banyak memilih Khofifah.
Keempat, dari 14 daerah pemilihan (dapil), Khofifah unggul di 12 dapil, kalah hanya di dapil I (Kota Surabaya) dan dapil II (Sidoarjo).
Kelima, posisi Khofifah sebagai Ketua PP Muslimat NU memainkan peran penting dalam mendulang suara dari kalangan Nahdliyin.
*Mengapa Ahmad Luthfi Unggul di Jawa Tengah?*
Keunggulan Ahmad Luthfi di Jawa Tengah juga dapat dijelaskan oleh beberapa faktor. Pertama, popularitas Ahmad Luthfi tertinggi, mencapai 72%, dibandingkan popularitas Andika Perkasa yang 58,7%.
Andika adalah tokoh nasional. Namun bagi pemilih Jawa Tengah, tentu saja banyak elit di sana yang mengenalnya. Tapi banyak wong cilik yang di desa-desa yang belum mendengar namanya.
Kedua, mesin politik KIM Plus bekerja efektif, terlihat dari loyalitas pemilih partai-partai dalam koalisi.
Ketiga, dari 13 dapil di Jawa Tengah, Ahmad Luthfi unggul di 11 dapil, kalah hanya di dapil I (Kota Semarang) dan dapil VIII (Magelang, Kota Magelang, dan Boyolali).
Keempat, Ahmad Luthfi diuntungkan oleh pengalamannya memimpin Polda Jawa Tengah, yang memperkuat kedekatannya dengan masyarakat setempat.
Kelima, mayoritas pemilih Prabowo-Gibran cenderung memilih pasangan Ahmad Luthfi-Taj Yasin. ***