Duka nestapa belum usai dirasakan korban akibat Covid-19. Tak sedikit dari mereka kehilangan anggota keluarga tercinta, ada yang kehilangan ayah, ibu, istri, suami, dan anak. Tak sampai di sini, kesedihan pun dirasakan saat mendengar kabar bahwa sejumlah oknum pejabat mendapatkan honor monitoring pemakaman Covid-19.
Seperti yang terjadi di Kabupaten Jember, sejumlah pejabat yang tergabung dalam tim pemakaman jenazah Covid-19, menerima honor bernilai fantastis. Honor ini diperoleh dari kematian pasien yang terpapar virus Covid-19. Tak tanggung-tanggung, nilai honor yang diterima oleh masing-masing pejabat sebesar Rp70.500.000. Setiap pasien yang meninggal, mereka menerima honor Rp100.000. Seperti yang kita tahu, saat ini lonjakan pasien semakin banyak. Maka dapat dibayangkan berapa besar jumlah honor yang diterima.
Adapun honor tersebut diterima oleh Bupati, Sekretaris Daerah, Plt Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jember, hingga Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Jember. Total honor yang mereka terima mencapai Rp282.000.000. (Kompas.com, 29 Agustus 2021)
Sungguh kejadian ini menyayat hati, perilaku tidak terpuji dari para pejabat negeri begitu melukai hati rakyat. Bukankah mereka dipilih untuk menjalankan tugas melindungi dan mengayomi rakyat? Justru yang terjadi, sifat tamak dipertontonkan mereka untuk memperkaya diri lewat jabatan yang diembannya. Rasanya nurani telah mati, di saat rakyat tengah berjibaku dengan pandemi dan kebutuhan hidup, mereka tega menikmati honor yang jumlahnya begitu besar.
Bukankah mereka menerima gaji tiap bulannya dari pekerjaannya sebagai pejabat publik. Tapi mengapa rasanya tak cukup memuaskan dahaga ketamakan mereka. Sudah menjadi kewajiban bagi pejabat dan jajarannya dalam menanggulangi pandemi, salah satunya memudahkan urusan pemakaman pasien Covid-19.
Menurut Hermawan Saputra selaku Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Indonesia (IAKMI) , pemerintah daerah memang sudah semestinya bertanggungjawab atas penyelenggaraan pemerintah dan layanan publik dengan baik. Seharusnya pemakaman pasien Covid-19 tak menjadi lahan dalam mencari keuntungan. Ia meminta Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian mengawasi tata kelola pemerintah daerah harus sejalan dengan pemerintah pusat dalam mengeluarkan kebijakan terkait penanganan Covid-19. (Merdeka.com, 27 Agustus 2021)
Beginilah jika hidup diatur sistem buatan manusia yang bernama demokrasi. Prioritasnya bukanlah mengurus rakyat, melainkan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Di tengah gempuran pandemi yang belum tuntas, hati mereka seakan tak teriris di saat menikmati honor dari derita yang dirasakan rakyat. Ditambah lemahnya pengawasan negara membuat pejabat merasa berhak mengeluarkan kebijakan yang tak manusiawi.
Kondisi rakyat yang semakin mengkhawatirkan, seharusnya menjadi fokus utama dalam program kerjanya. Akan tetapi yang diterima rakyat hanyalah kenyataan pahit harus diurus oleh para pejabat yang minim empati dan sense of crisis. Lebih jauh, tak sedikit dari mereka lebih mementingkan diri atau kelompoknya dibandingkan menyejahterakan rakyat. Bahkan tak sedikit yang terperosok pada perilaku tak terpuji dengan memperkaya diri, mengambil jalan pintas bernama korupsi. Seperti inilah fakta yang biasa terjadi dalam pemerintahan sekuler demokrasi.
Dalam sistem demokrasi yang menjauhkan agama dari kehidupan, perbuatan haram tak jadi soal asalkan tujuannya bisa tercapai. Sistem ini menghasilkan pemimpin bermental lemah, tak memiliki belas kasih terhadap rakyat dan tak amanah dalam menjalankan tugasnya.
Sangat berbeda jauh dengan sistem Islam. Islam memiliki panduan dalam memilih dan mengangkat pejabat publik. Orang-orang inilah yang sejak awal telah mempunyai komitmen kuat untuk bekerja keras menyejahterakan rakyat. Jauh dari pikiran mereka untuk mencari keuntungan di atas penderitaan rakyat, apalagi melakukan tindakan korupsi yang jelas-jelas melanggar aturan agama.
Dalam Islam, pejabat publik harus mempunyai beberapa kriteria penting. Pertama, memiliki fisik yang kuat. Sebab mereka mengabdikan dirinya siang dan malam tanpa kenal lelah, sehingga membutuhkan kesehatan yang prima. Kedua, memiliki belas kasih dan sayang terhadap rakyat, supaya pejabat tak menyulitkan dengan mengeluarkan kebijakan yang memberatkan rakyat. Ketiga, siap untuk diganti atau dipecat ketika salah dalam menjalankan tugasnya. Juga berani bertanggungjawab atas setiap keputusan yang ditetapkan.
Khalifah Umar pernah berpesan. “Ketahuilah tidak ada suatu kebijaksanaan yang lebih dicintai oleh Allah kecuali kebijaksanaan seorang hakim dan kasih sayangnya kepada rakyat. Tidak ada suatu kebodohan yang lebih dibenci oleh Allah daripada ketidahtahuan dia dengan keadaan rakyatnya. Ketahuilah, orang yang membenci orang lain yang derajatnya sama, dia akan dibenci oleh orang yang derajatnya di bawah.” (Ad-Daulatu al-Islamiyatu fi ’Ashri al-Khulafa’u ar-Rasyidin, h. 334)
Begitulah sempurnanya sistem Islam, yang mengatur setiap urusan termasuk memilih pejabat publik yang menjadi kepanjangan tangan rakyat. Mereka harus amanah dan betanggungjawab dalam tugasnya. Tujuannya, tentu untuk menyejahterakan kehidupan rakyat. Wallahu a’lam bish shawab.