Pada 2 Februari 2021 Presiden Joko Widodo resmi menghapus Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) dari daftar bahan berbahaya dan beracun atau Limbah B3. Kebijakan ini tertuang di dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 22 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Usulan mengeluarkan limbah FABA dari daftar limbah B3 datang dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Sebanyak 16 asosiasi Apindo sepakat mengusulkan penghapusan tersebut karena beberapa hasil uji menyatakan FABA bukan limbah B3.
Salah satunya dikemukakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), bahwa hasil pengujian limbah abu batu bara hasil pembakaran PLTU memperlihatkan tidak memenuhi syarat kategori bahan berbahaya. Meski demikian, pihaknya tetap akan memantau pengelolaan limbah non-B3. (merdeka.com, 15/3/2021)
Menanggapi hal ini, pakar lingkungan dari Universitas Indonesia Tarsoen Waryono menyampaikan dampak negatif limbah tersebut, seperti gatal pada kulit manusia, serta berbahaya terhadap organ pernapasan jika terhirup. Sebab, salah satu jenis limbah FABA berbentuk partikel debu halus.
Desakan untuk mencabut PP yang menghapus FABA dari limbah B3 pun datang dari berbagai kalangan hingga masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan PLTU.
Diketahui, warga yang tinggal di sekitarnya mengalami sesak napas, bahkan paru-parunya ada yang bolong. Sebanyak 14 orang meninggal dunia akibat FABA yang ditimbulkan PLTU Batu Bara di Palu. Mayoritas meninggal karena kanker nasofaring, paru-paru hitam, dan kanker paru-paru. (bbc.com, 12/3/2021)
Adapun KPK beralasan dengan pencabutan FABA dari limbah B3 dapat menghindarkan potensi korupsi dari sektor perizinan, sehingga biaya produksi pembangkitan listrik PT PLN menurun dan potensi manfaat FABA untuk sektor industri lain dengan estimasi nilai Rp 300 triliun dapat direalisir. Juga dapat meminimalisir ruang gerak mafia yang bermain dalam pengelolaan limbah, yang berpotensi merugikan pengelola dan pengusaha Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Yang mana untuk mengelola FABA dibutuhkan pembuatan dokumen Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) dengan biaya hingga sekitar Rp400 jutaan dan rawan memunculkan praktik mafia. (Kontan.co.id)
Di samping itu, pakar kebijakan publik Agus Pambagio menilai, keputusan ini tepat karena FABA mempunyai banyak manfaat sehingga bisa dijadikan sebagai teknologi baru.
“Sebelumnya FABA itu jumlahnya banyak dan sulit dikendalikan sehingga dimasukkan ke dalam kategori limbah B3. Tetapi seiring berkembangnya teknologi, FABA ternyata bisa diolah kembali menjadi sesuatu yang berguna,” ujar Agus dalam Polemik Trijaya, Selasa, (16/3) lalu.
Apa itu FABA?
Coal ash adalah istilah umum untuk beberapa jenis limbah yang tersisa di pembangkit listrik batubara, yang biasanya mengandung sejumlah zat yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Coal ash merupakan kumpulan residu yang dihasilkan selama pembakaran batubara yang terbagi atas fly ash dan bottom ash.
Fly ash adalah jenis abu batubara yang paling ringan — sangat ringan sehingga “terbang” ke atas tumpukan pembangkit listrik. Filter di dalam tumpukan menangkap sekitar 99 persen abu, menariknya adalah dengan muatan listrik yang berlawanan. Fly ash dapat didaur ulang. Partikel halus mengikat dan mengeras, terutama bila dicampur dengan air, menjadikannya bahan yang ideal untuk beton dan brick wall. Versi abu batubara dari produk ini sebenarnya lebih kuat daripada yang terbuat dari virgin materials.
Bottom ash adalah komponen abu batubara yang lebih kasar, yang mencakup sekitar 10 persen limbah, yang mengendap di bagian bawah boiler pembangkit listrik. Bottom ash tidak begitu berguna seperti fly ash, meskipun pemilik pembangkit listrik telah mencoba untuk mengembangkan opsi “penggunaan yang bermanfaat”, seperti bahan pengisi struktur dan bahan dasar jalan. Bottom ash tetap beracun saat didaur ulang. Di lapangan golf Virginia pada tahun 2007, misalnya, jalan yang menggunakan campuran bottom ash, partikel logam beratnya mencemari air tanah.
Fly ash merupakan polutan, dan mengandung zat asam, beracun, dan radioaktif. Abu ini dapat mengandung timbal, arsenik, merkuri, kadmium, dan uranium. EPA menemukan bahwa paparan yang signifikan terhadap abu terbang dan komponen abu batubara lainnya meningkatkan risiko seseorang terkena kanker dan penyakit pernapasan lainnya.
Coal pond (penampungan batubara) berpotensi dapat mencemari air tanah dan jika tertelan, air yang terkontaminasi arsenik meningkatkan risiko seseorang terkena kanker. Menghirup atau menelan racun dalam fly ash dapat berdampak pada sistem saraf, menyebabkan cacat kognitif, keterlambatan perkembangan, dan masalah perilaku, sekaligus meningkatkan kemungkinan seseorang terkena penyakit paru-paru, penyakit ginjal, dan penyakit saluran cerna.
Pond bisa menjadi masalah jika tidak memiliki lapisan yang tepat untuk TPA atau kolam untuk mencegah kebocoran dan pencucian. Kebocoran ini yang menyebabkan kontaminasi air tanah.
Selain potensi kebocoran, racun fly ash dapat menyebar ke lingkungan sebagai akibat dari erosi, limpasan, atau melalui udara sebagai debu halus. Fakta bahwa bahan kimia dalam abu dapat keluar dan bergerak melalui lingkungan inilah yang membuat fly ash berbahaya.
Clara and Kristina (2017), mengidentifikasi bahwa tinggal di dekat abu batubara, ditemukan secara signifikan peningkatan kemungkinan yang merugikan kesehatan dan masalah tidur untuk anak-anak karena paparan materi partikulat dan logam berat telah diketahui mempengaruhi banyak sistem organ dan merusak fungsi kognitif.
Salah satu penanganan lingkungan yang dapat diterapkan adalah memanfaatkan limbah fly ash untuk keperluan bahan bangunan teknik sipil, namun hasil pemanfaatan tersebut belum dapat dimasyarakatkan secara optimal, karena berdasarkan PP. No.85 tahun 1999 tentang pengelolaan limbah B3, FABA dikategorikan sebagai limbah B3 karena terdapat kandungan oksida logam berat yang akan mengalami pelindihan secara alami dan mencemari lingkungan.
Dikeluarkan dari Limbah B3: Kebijakan Pro Oligarki & Konsekuensi Haluan Ideologi
Adapun limbah batubara yang dikeluarkan dari kategori B3 hanya limbah FABA melalui sistem pembakaran chain grate stoker. Jadi, kalau industri yang masih menggunakan fasilitas stoker boiler atau tungku industri, FABA-nya masih menjadi limbah B3.
Payung hukum yang mengatur tentang ketentuan itu adalah PP Nomor 22 Tahun 2021 yang telah disahkan. PP tersebut merupakan aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Berdasarkan lampiran 14 PP Nomor 22 Tahun 2021 disebutkan, jenis limbah batubara yang dihapus dari kategori limbah B3 adalah FABA.
Pada bagian penjelasan Pasal 459 huruf C PP 22/2021 FABA hasil pembakaran batubara dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan kegiatan lainnya tak termasuk sebagai limbah B3, tetapi non-B3.
Jika ditelusuri, kebijakan-kebijakan pro korporasi dan oligarki batubara ini bukan hanya terjadi kali ini saja. Dari revisi UU Minerba, UU Omnibus Law Cipta Kerja, proyek hilirisasi batu bara yang berusaha membujuk RUU EBT, dan kini penghapusan limbah FABA dari kategori limbah B3. Semua kebijakan ini bermuara pada keuntungan berlimpah ruah korporasi.
Tidak digubrisnya suara pakar dan bermunculannya kebijakan-kebijakan yang sangat kental dengan kepentingan korporasi adalah indikasi kebijakan ini penuh kepentingan bisnis. Mereka tega mengorbankan kesehatan masyarakat dan merusak lingkungan demi memperoleh keuntungan.
Segala polemik terkait FABA yang terjadi ini adalah konsekuensi dari haluan ideologi negara yang membebek pada ideologi Kapitalisme yang dengannya diterapkanlah sistem ekonomi kapitalisme. Dengan sistem ini maka kebebasan kepemilikan dijamin bagi siapa saja yang memiliki modal untuk memiliki dan memanfaatkan sesuai dengan kepentingannya.
Sifat rakus yang muncul dari orientasi meraih manfaat sebesar-besarnya telah mengantarkan pada matinya fitrah manusia yang memiliki kasih saying pada sesamanya. Buktinya, bencana demi bencana yang menimpa rakyat akibat operasi serampangan yang mereka lakukan tidak menjadi perhatian saat status FABA masih limbah B3, meskipun ada Sistem Manajemen Keselamatan Pertambangan (SMKP) Mineral dan Batubara.
Akibatnya, negara hanya sebagai regulator bagi para korporasi dan pelayan sekaligus penjaga kepentingan-kepentingan mereka. Omnibus Law yang digadang-gadang akan menciptakan lapangan kerja bagi rakyat pun nyatanya hanyalah srigala berbulu domba yang siap menerkam rakyat kapan saja. Alih-alih sejahtera, untuk menghirup udara segar saja rakyat tak diberikan ruang akibat ekosistem yang dirusak secara terang-terangan.
Dengan demikian, tidak berlebihan jika kita katakana bahwa ini merupakan kezaliman penguasa kepada rakyat dan kehidupan secara keseluruhan akibat penerapan ideologi kapitalisme yang lahir dari akal manusia yang lemah, terbatas dan membutuhkan pada yang lain.
Permasalahan sistemik yang muncul ini tidak cukup jika diselesaikan hanya dengan mengubah atau memperbaiki UU yang berlaku. Karena hal itu hanya akan menjadi lingkaran setan yang tidak akan pernah ada habisnya.
Islam sebagai sebuah ideologi mampu menjawab tantangan ini dengan seperangkat aturan yang lahir dari Allah SWT, Sang Pencipa dan Pengatur bumi dan seisinya. Karena Allah yang menciptakan, maka Allah-lah yang paling mampu menentukan pengaturan seperti apa yang harus dijalankan oleh manusia dalam mengelola bumi ini.
Solusi Islam
Rasulullah SAW bersabda, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Rasulullah SAW pernah membolehkan sumur di Thaif dan Khaibar dimiliki oleh individu untuk menyirami kebun. Seandainya berserikatnya manusia itu karena zatnya, tentu Rasulullah SAW tidak akan membolehkan air sumur itu dimiliki oleh individu.
Dengan demikian, berserikatnya manusia dalam ketiga hal pada hadits di atas bukan karena zatnya, tetapi karena sifatnya sebagai sesuatu yang dibutuhkan oleh orang banyak (komunitas) dan jika tidak ada maka mereka akan berselisih atau terjadi masalah dalam mencarinya.
Artinya sesuatu itu merupakan milik umum di mana manusia berserikat dalam memilikinya. Sesuatu itu tidak boleh dimiliki atau dikuasai oleh individu, beberapa individu ataupun negara sekalipun. Individu, sekelompok individu atau negara tidak boleh menghalangi individu atau masyarakat umum memanfaatkannya, sebab harta semacam ketiganya itu adalah milik mereka secara berserikat.
Namun, agar semua bisa mengakses dan mendapatkan manfaat dari ketiganya, negara mewakili masyarakat mengatur pemanfaatannya, sehingga semua masyarakat bisa mengakses dan mendapatkan manfaat secara adil dari harta-harta milik umum tersebut. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW, “Al-imaamu raa’in wa huwa mas’uulun ‘an ra’iiyatihi” (al-Hadits)
Eksploitasi SDA akan diutamakan untuk kebutuhan rakyat di dalam negeri, selebihnya boleh diekspor untuk dikembalikan hasilnya pada rakyat.
Hasil dari pengelolaan tambang dan SDA lainnya dikembalikan lagi kepada rakyat baik berupa pemanfaatan langsung, seperti: Air, padang rumput, api, jalan umum, laut, samudra, sungai besar dan lain-lain bisa dimanfaatkan secara langsung oleh setiap individu.
Siapa saja dapat mengambil air dari sumur, mengalirkan air sungai untuk pengairan pertanian, juga menggembalakan hewan ternaknya di padang rumput milik umum. Dalam konteks ini negara tetap mengawasi pemanfaatan milik umum ini agar tidak menimbulkan kemudaratan bagi masyarakat.
Maupun tidak langsung, yaitu kekayaan milik umum yang tidak dapat dengan mudah dimanfaatkan secara langsung oleh setiap individu masyarakat karena membutuhkan keahlian, teknologi tinggi, serta biaya yang besar seperti minyak bumi, gas alam, dan barang tambang lainnya, maka wajib dikelola oleh negara. Hasilnya dimasukkan kedalam kas negara sebagai sumber pendapatan utama APBN untuk kepentingan rakyat berupa pemenuhan kebutuhan lainnya dalam kehidupan masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, dlsb
Negara tidak boleh menjual hasil dari kepemilikan umum itu kepada rakyat untuk konsumsi rumah tangga demi meraih untung. Harga jual kepada rakyat hanya sebatas harga produksi. Namun demikian, boleh saja negara menjualnya dengan mendapatkan untung yang wajar jika dijual untuk keperluan produksi komersial.
Adapun jika kepemilikan umum tersebut dijual kepada pihak luar negeri, negara boleh mencari untung semaksimal mungkin. Hasil keuntungan penjualan diberikan kepada rakyat untuk kepentingan produksi komersial dan ekspor ke luar negeri digunakan: pertama, dibelanjakan untuk segala keperluan yang berkenaan dengan kegiatan operasional badan negara yang ditunjuk untuk mengelola harta pemilikan umum, baik dari segi administrasi, perencanaan, eksplorasi, eksploitasi, produksi, pemasaran, dan distribusi.
Kedua, dibagikan kepada kaum muslim atau seluruh rakyat. Dalam hal ini pemerintah boleh membagikan air minum, listrik, gas, minyak tanah, dan barang lain untuk keperluan rumah tangga atau pasar-pasar secara gratis atau menjualnya dengan semurah-murahnya, atau dengan harga wajar yang tidak memberatkan.
Adapun barang-barang tambang yang tidak dikonsumsi rakyat , semisal emas, perak, tembaga, batubara, dan lain-lain jika dijual ke luar negeri, keuntungannya dibagi kepada seluruh rakyat, dalam bentuk uang, barang, atau untuk membangun sekolah-sekolah gratis, rumah-rumah sakit gratis dan pelayanan umum.
Pendanaan yang dibutuhkan untuk eksploitasi, eksplorasi dan pengolahan hingga pendistribusian dikeluarkan negara dari kas baitul maal. Haram membiayainya dengan investasi asing atau utang luar negeri karena Allah ‘Azza wa Jalla melarang memberikan jalan apapun bagi orang kafir untuk menguasai orang-orang beriman dalam firman-Nya:
“Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 141)
Hal yang juga sangat mendasar adalah utang-utang yang ditarik oleh pemerintah dan BUMN merupakan utang ribawi yang diharamkan secara tegas oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.
Dengan pembiayaan yang mandiri negara juga akan memfasilitasi segala penelitian untuk menunjang teknologi yang tepat guna dan ramah lingkungan sehingga eksploitasi tambang yang mengakibatkan kerusakan lingkungan bisa diminimalisir. Sehingga, pengolahan limbah tambang menjadi tanggungjawab negara seutuhnya.
Dengan inilah rasa keadilan dan kesejahteraan akan terwujud. Keberkahan dari langit dan bumi akan meliputi. Namun, tentu saja rasa keadilan dan kesejahteraan serta keberkahan dari Allah SWT hanya akan mewujud apabila syariat Islam diterapkan secara kaffah dalam institusi Khilafah Islamiyah yang telah terbukti kejayaannya selama kurang lebih 14 abad lamanya. ***